Modernis.co, Malang – Prospek hukum adat dalam menyikapi dunia Islam dan sebaliknya prospek hukum Islam dalam menyikapi hukum adat seyogyanya harus diselaraskan. Sebab banyak yang menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) terkait eksistensi antara kedua hukum ini. Suatu hal yang sangat mustahil ketika hukum adat dilepaskan dari hukum Islam seperti apa yang dikemukakan oleh teori reseptie in complexu dengan alibi ingin memisahkan antara pembahasan agama dengan adat.
Pembuktianya terlihat ketika hukum Islam sebagai elemen tertinggi dalam mencapai kesempurnaan hukum adat. Kolaborasi seperti inilah yang seharusnya dirawat, tetapi tidak jarang manusia lebih membutuhkan hukum adat daripada hukum islam. Melihat doktrinitas hukum yang berlaku di Indonesia contohnya yang sangat beraneka ragam, mulai dari hukum Belanda, hukum Islam dan hukum adat. Hal ini pun yang menjadi polemik awal yang menjadi kebingungan publik.
Hukum akan selalu berkembang dan berdialektika dengan dinamika sosial. Basis dasar hukum Islam yang ditentukan oleh fakta-fakta sosial yang direduksi sebagai hukum buatan manusia. Dialektika (kritik continue) adalah suatu hal yang sangat ihwal untuk selaraskan antara teori dengan praktik lapangan. Sebab hukum Islam yang berasal dari wahyu dan Ijtihad para ulama dengan peranan intelektual yang independen. Hukum Islam yang berkembang dari suatu dialog yang cukup alot antara nilai ideal normatif dengan realitas praktis dan historis.
Atas dasar implikasi dan polemik inilah yang menyebabkan adanya pergeseran makna yang signifikan sehingga terjadi distingsi antara praktik dan teori. Hal ini terbukti dalam beberapa hermeneutika masyarakat, sebab hukum akan diperkaya dengan dinamika sosial. Ubi sociates Ibiius (di mana ada masyarakat di situ ada hukum), atas dasar implikasi inilah yang menjadi suatu keharusan dan keselerasan antara teori dengan praktik.
Ignaz Goldziher seorang orientalis yang berusaha untuk menjajah dunia Islam dengan motif berkedok untuk mempelajari khazanah keilmuan Islam dengan ekspektasi untuk menghancurkan agama Islam. Ignaz berasumsi bahwa hukum Islam dari segi hadist tidak perlu melakukan kritik sanad, tetapi yang terpenting adalah kritik matan, karena kritik matan lebih ilmiah dan menuntut akal untuk berfikir kritis.
Pemikiran Ignaz Goldziher ini dikritik oleh Prof. Dr. M. Mustafa Al-A’zami yang dianggapnya sebagai pemahaman yang liberalisme. Mustafa Al-A’zami menyatakan bahwa metode kritik matan sebenarnya sudah dilakukan oleh para mujtahid Islam tanpa mengenyampingkan metode kritik sanad dan rawi untuk mencapai hadist yang mutawattir. Karena jika kritik matan saja yang diprioritaskan sudah barang tentu hanya akan berporos pada nalar manusia yang sangat terbatas dan seyogyanya harus dibatasi.
Adagium kebenaran akan selalu hidup meskipun suatu kebenaran objektif tidak dinilai sebagai suatu yang objektif pula. Elektabilitas dan independensi seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh seorang muslim yang notabennya berikrar dengan syahadatain ketika ajaran Islma berupaya untuk dimanipulasi oleh pihak yang ingin menghancurkan Islam. Perlu diingat bahwa agama Islam bukanlah ajaran yang memarginalkan, tetapi sebaliknya adalah ajaran yang menyatukan dan berekspansi untuk memperluas wawasan dan kekuasaan yang aristokrasi.
Adapun para pemikir lain yang berkomentar tentang masalah ini adalah Josep Schacst. Dia berasumsi bahwa tinjauan sunnah dan hadist salah satunya adalah dari konsep living traditional (kehidupan tradisional). Sedangkan Fundamentalis idea Harad Motzaki lebih mengarah pada logika pembuktian otentisitas hadist, mulai dari periwayatanya, sanad, dan matan.
Epistemologi (cara untuk mendapatkan pengetahuan) dengan adanya source methode serta pendekatan dengan menggunakan nalar. Analis hadist dengan analisis pengkomparatifan merupakan suatu analisis yang berupaya untuk mencari sisi perbedaan dan persaan objek penelitian sehingga mampu dikompromikan untuk mencapai titik terang.
Hal ini terbukti bahwa, secara historis implikasi pemikiran Josep terhadap perkembangan hadist terlihat ketika kajian yang dilakukanya dalam mempengaruhi para sarjana terkait teori yang dia paparkan di atas.
Hukum Islam dan hukum adat adalah dua elemen yang tidak dapat dipisahkan dari pluralisme kepercayaan yang memang pada hakekatnya menjadi ciri khas kemanusiawian yang telah dianugerahkan Tuhan untuk dijaga keautentikannya bukan malah dipertentangkan dan memicu disintegrasi.
Oleh : Andy Apriansah (Aktivis IMM Tamaddun Universitas Muhammadiyah Malang)